Pada Senin, 13 Juni 2022, sejumlah poster kritikan terkait kasus kekerasan seksual di Universitas Riau dipajang oleh massa aksi di kawasan Mahkamah Agung RI, Jakarta. Dalam konteks ini, Neni Nur Hayati, Direktur Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia, menyampaikan kritik tajam terhadap Putusan Mahkamah Agung mengenai syarat usia calon kepala daerah. Menurut Neni, putusan tersebut mencerminkan bagaimana konstitusi bisa dimanipulasi demi kepentingan dinasti politik.
Neni sangat menyayangkan Putusan MA Nomor 23 P/HUM/2024 yang menguji Peraturan KPU Nomor 9 Tahun 2020. Peraturan ini dimohonkan oleh Partai Garuda dan putusan tersebut dianggap Neni sebagai preseden buruk dalam proses demokrasi Indonesia, karena sarat dengan kepentingan politis tertentu. Neni menilai bahwa putusan ini, yang seolah mengatasnamakan kesetaraan dan keterwakilan generasi muda, sebenarnya hanya menguntungkan kandidat yang memiliki hubungan kekerabatan dengan elit politik atau oligarki, memperkuat dinasti politik yang ada.
Menurut Neni, ada keanehan dalam cara putusan MA ini diterima dan diputuskan dengan begitu cepat. Putusan yang tidak melibatkan keterbukaan, transparansi, dan akuntabilitas ini menimbulkan kecurigaan publik. Neni mencurigai bahwa putusan ini dibuat untuk memuluskan jalan Kaesang Pangarep, putra Presiden Jokowi, dalam mencalonkan diri sebagai gubernur atau wakil gubernur. Dengan putusan ini, peluang Kaesang untuk maju dalam pilkada menjadi lebih besar tanpa hambatan aturan usia.
DEEP mendesak Komisi Pemilihan Umum (KPU) agar tidak menindaklanjuti Putusan MA yang terkait dengan syarat usia minimal calon kepala daerah. Sebelumnya, calon gubernur dan wakil gubernur harus berusia minimal 30 tahun pada saat penetapan pasangan calon, tetapi putusan baru ini mengubahnya menjadi saat pelantikan. Perubahan serupa juga berlaku untuk calon bupati, wakil bupati, wali kota, dan wakil wali kota, di mana usia minimal berubah dari 25 tahun saat penetapan menjadi saat pelantikan.
Neni mengingatkan bahwa hal ini bertentangan dengan UU Pilkada dan KPU harus tetap konsisten dan imparsial. Menurutnya, jika KPU mengikuti putusan MA ini, mereka akan terjebak dalam kepentingan politik pragmatis jangka pendek yang mengorbankan integritas dan mencederai demokrasi. Neni juga mengajak seluruh masyarakat untuk mengawasi proses penyelenggaraan pilkada agar berlangsung dengan jujur dan adil.
Pada Rabu sebelumnya, Mahkamah Agung mengabulkan gugatan yang diajukan oleh Ketua Umum Partai Garuda, Ahmad Ridha Sabana, yang menambah tafsir mengenai syarat usia calon kepala daerah. Gugatan yang didistribusikan pada 27 Mei 2024 tersebut diputuskan tiga hari kemudian oleh majelis hakim yang diketuai Yulius, dengan anggota Cerah Bangung dan Yodi Martono Wahyunadi. Dalam amar putusannya, Mahkamah Agung mengubah ketentuan bahwa calon gubernur dan wakil gubernur harus berusia 30 tahun sejak penetapan pasangan calon menjadi saat pelantikan calon.
Bersamaan dengan itu, Sufmi Dasco Ahmad, Ketua Harian Dewan Pimpinan Pusat Partai Gerindra, mendorong Budisatrio Djiwandono dan Kaesang Pangarep untuk maju dalam Pilkada Jakarta 2024 sebagai calon gubernur dan wakil gubernur. Foto yang diunggah Dasco di Instagram pribadinya menunjukkan dukungan ini, dengan tulisan “Budisatrio Djiwandono – Kaesang Pangarep For Jakarta 2024.”
Putusan Mahkamah Agung ini membuka peluang bagi Kaesang untuk maju sebagai calon kepala daerah di tingkat provinsi. Kaesang, yang lahir pada 25 Desember 1994, belum genap berusia 30 tahun pada saat pendaftaran calon gubernur dan wakil gubernur yang dibuka pada 27-29 Agustus mendatang. Dengan putusan ini, batas usia minimal 30 tahun dihitung sejak pelantikan, bukan penetapan, memungkinkan Kaesang untuk memenuhi syarat usia. Syarat usia juga diubah untuk Pilpres 2024. Kakak Kaesang, Gibran Rakabuming Raka, yang berusia 36 tahun, akhirnya bisa maju sebagai calon wakil presiden setelah Mahkamah Konstitusi menambahkan syarat pencalonan presiden dan wakil presiden pada Pasal 169 huruf q UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Melalui putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023, Mahkamah Konstitusi mengubah syarat usia capres-cawapres, memungkinkan seseorang yang belum berusia 40 tahun namun memiliki pengalaman sebagai kepala daerah atau pejabat yang dipilih melalui pemilu untuk mencalonkan diri dalam kontestasi pilpres.