Pandangan kritis terhadap Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan fenomena yang mengelilingi pemerintahannya, terutama terkait dengan fenomena “pendukung fanatik” dan pembelaan terhadap Jokowi.
Beberapa tantangan dalam mengkritik atau berbicara objektif tentang Jokowi, yang dianggap menghadapi dua “tembok” besar: identifikasi dengan rakyat biasa (dalam hal ini, kelompok yang mendukung Jokowi sebagai representasi dari masyarakat umum) dan adanya buzzer yang mendukung pemerintahannya.
Tembok pertama: Suara Rakyat Kebanyakan
Pendukung Jokowi sering kali dipandang sebagai bagian dari “rakyat biasa” yang merasa terwakili oleh sosoknya, yang dianggap keluar dari kalangan elit politik dan oligarki. Dengan tagline “Jokowi adalah kita”, citra ini membuat banyak orang merasa dekat dengan Jokowi. Namun, pandangan ini bisa berbahaya jika kita menganggap bahwa hanya identifikasi dengan rakyat biasa yang cukup untuk menjadi pemimpin yang baik. Meskipun berasal dari latar belakang non-elit, Jokowi dianggap oleh sebagian pihak tidak memenuhi kualifikasi pemimpin ideal yang dibutuhkan negara, dengan pengalaman dan perjalanan yang tidak cukup panjang untuk menghadapi tantangan besar.
Tembok kedua: Buzzer
Buzzer atau pendukung di dunia maya menjadi fenomena besar dalam politik Indonesia, terutama selama pemerintahan Jokowi. Banyak orang yang mungkin tidak setuju dengan kebijakan atau pandangan ilmiah bisa terpinggirkan oleh opini-opini yang dibentuk oleh buzzer. Dalam beberapa kasus, buzzer bisa membuat pandangan dari akademisi atau pakar tidak dihargai atau bahkan diabaikan, terutama jika bertentangan dengan pandangan pemerintah. Contoh lain yang mencolok adalah bagaimana berbagai organisasi internasional atau media yang mengkritik Jokowi, seperti OCCRP yang menilai Jokowi sebagai salah satu orang terkorup, langsung dibantah atau diserang oleh pendukungnya. Penulis menyoroti masalah besar di balik fenomena ini: pemahaman publik tentang Jokowi sering kali dipengaruhi oleh persepsi dan propaganda yang dikendalikan oleh kelompok tertentu (buzzer) dan pengidentifikasian Jokowi dengan rakyat biasa yang bisa membatasi objektivitas dalam menilai kinerjanya sebagai presiden. Hal ini menciptakan ruang bagi pendapat kritis yang tidak dihargai dan sering kali dibungkam oleh suara mayoritas yang telah dibentuk oleh berbagai alat komunikasi politik.