Presiden terpilih Prabowo Subianto diharapkan dapat membentuk kabinet yang efisien dan efektif. Sebelum memutuskan untuk membentuk kabinet besar, dia diminta untuk mengevaluasi kemampuan dan masalah yang ada dalam sistem kementerian/lembaga di Indonesia.
Hal ini diungkapkan oleh Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, dalam diskusi publik bertajuk “Dilema Kabinet Prabowo dalam Bingkai Koalisi Besar” di Universitas Paramadina, Jakarta, pada Kamis (11/7).
Samirin menyatakan bahwa kabinet besar tidak selalu berkorelasi dengan efektivitas dan efisiensi pemerintahan. Banyak negara, seperti Tiongkok dengan hanya 24 menteri, Vietnam dan Singapura dengan 18 menteri, dan Amerika Serikat dengan 14 menteri, menunjukkan bahwa jumlah menteri yang sedikit mencerminkan tata kelola yang kuat dan efektif.
Pada era Demokrasi Parlementer, Indonesia pernah memiliki kabinet dengan hanya 10 menteri, sementara pada era Demokrasi Terpimpin jumlahnya mencapai 132 menteri. Namun, sejak era reformasi, Indonesia konsisten memiliki sekitar 33-34 menteri. Oleh karena itu, presiden terpilih didorong untuk fokus pada efisiensi dan efektivitas daripada menambah jumlah menteri.
Samirin juga menekankan pentingnya memilih menteri yang profesional dan berintegritas. Meskipun jatah bagi partai pendukung presiden terpilih sering menjadi norma, penting untuk memilih menteri yang berkompeten. Sejak era reformasi, tercatat 12 menteri dari partai politik yang menjadi tersangka korupsi. Hal ini mungkin disebabkan oleh biaya politik yang tinggi, penugasan partai untuk mencari dana, atau karakter politis yang cenderung mengambil risiko.
Selama era Presiden Joko Widodo, enam menteri terseret kasus korupsi, dan jumlah ini mungkin akan bertambah. Oleh karena itu, Samirin berharap presiden terpilih mengisi kabinet dengan individu yang kredibel dan berintegritas, serta meminimalkan perubahan jumlah menteri demi efektivitas dan efisiensi. Di sisi lain, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Esther Sri Astuti, mengatakan bahwa kabinet besar hanya akan menyebabkan pemborosan anggaran. Selain itu, efektivitas kementerian baru mungkin tidak sesuai harapan. Esther menegaskan bahwa pemerintahan harus efektif, dan kabinet yang ramping lebih baik daripada kabinet besar yang meningkatkan belanja rutin.