Wakil Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPR RI, Mulyanto, merasa terkejut dengan keputusan Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang akhirnya setuju untuk menerima izin konsesi pertambangan dari pemerintahan Joko Widodo. Menurut Mulyanto, langkah ini memunculkan pertanyaan dari publik mengenai sikap Muhammadiyah yang selama ini dikenal kritis.
“Saya merasa terkejut dengan keputusan Muhammadiyah. Biasanya, Muhammadiyah dan para pemimpinnya cukup kritis terhadap kebijakan pemerintah, terutama kebijakan yang menuai pro dan kontra di masyarakat,” kata Mulyanto.
Dengan menerima konsesi tambang, Muhammadiyah menyetujui substansi norma dalam regulasi pemberian izin tambang kepada organisasi keagamaan.
“Dengan sikap ini, Muhammadiyah tampak mulai bergerak dari wilayah high politics ke wilayah low politics. Tentu ini akan membawa risiko, baik dari internal maupun masyarakat umum,” cetusnya.
Selain itu, penerimaan konsesi tambang berpotensi menimbulkan masalah bagi Muhammadiyah. Pasalnya, bisa saja Peraturan Pemerintah (PP) yang menjadi dasar hukum pemberian prioritas konsesi tambang tersebut diajukan untuk judicial review dan dibatalkan oleh Mahkamah Agung.
Mulyanto, yang juga anggota Komisi VII DPR RI yang membidangi energi dan lingkungan hidup, berpendapat bahwa PP No 25 Tahun 2024 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Minerba bertentangan dengan UU No 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Minerba.
Pasal 75 ayat (3) dan (4) UU Minerba secara jelas mengatur bahwa prioritas pemberian WIUPK (Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus) adalah kepada BUMN/BUMD, bukan kepada organisasi keagamaan.
“Dalam UU Minerba, prioritas diberikan kepada BUMN/BUMD. Sedangkan untuk badan usaha swasta, pemberian WIUPK dilakukan melalui proses lelang yang adil. Jika ada judicial review terhadap PP itu, Muhammadiyah bisa terjebak dalam masalah,” tuturnya.
Mulyanto menilai bahwa niat baik pemerintah untuk membantu organisasi keagamaan akan lebih aman secara regulasi jika dilakukan melalui pemberian partisipating interest (PI) atau bantuan melalui dana CSR dari usaha sektor pertambangan.
“Bukan melalui pemberian konsesi tambang,” tandasnya.