Pengamat politik Adi Prayitno menyatakan bahwa pengunduran diri Airlangga Hartarto sebagai Ketua Umum Partai Golkar menimbulkan banyak pertanyaan.
“Menurut saya, banyak yang terkejut dengan keputusan Airlangga yang tampaknya mendadak, karena sebelumnya isu tentang munaslub (musyawarah nasional luar biasa) tidak pernah benar-benar mencuat,” ungkap Adi dalam sebuah pernyataan yang diterima di Jakarta hari ini.
Ia menambahkan bahwa keputusan tersebut bertolak belakang dengan kepemimpinan Airlangga di Partai Golkar, yang justru berhasil meningkatkan jumlah kursi dalam Pemilu 2024.
Meski demikian, Adi menilai bahwa pengunduran diri Airlangga menunjukkan bahwa pergantian kepemimpinan di Partai Golkar seringkali terjadi dalam situasi yang tidak lazim.
Sebelumnya, lanjut Adi, konflik internal pernah terjadi ketika Setya Novanto terpilih sebagai ketua umum partai tersebut.
“Jika kita melihat pola umumnya, Ketua Umum Partai Golkar biasanya muncul dari kondisi yang tidak biasa. Misalnya, Setya Novanto menjadi Ketua Umum di tengah-tengah konflik internal partai, antara kubu Aburizal Bakrie dan Agung Laksono,” jelasnya.
Adi juga mengingatkan bahwa Airlangga terpilih sebagai ketua umum saat Setya Novanto tengah terlibat masalah hukum.
Bahkan pada tahun 2004, Akbar Tanjung yang saat itu menjabat sebagai Ketua Umum Partai Golkar dan berhasil meraih suara terbanyak dalam pemilihan legislatif, terpaksa digantikan oleh Jusuf Kalla.
“Situasi seperti ini menunjukkan bahwa pergantian Ketua Umum di Partai Golkar seringkali dimulai dengan kondisi yang tidak normal dan tidak kondusif. Jadi, jika Airlangga tiba-tiba mundur, hal ini semakin memperkuat tren bahwa suksesi kepemimpinan di Partai Golkar selalu diwarnai oleh kondisi-kondisi yang tidak biasa,” tutupnya.