Wakil Ketua Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) DPR RI, Herman Khaeron, menyarankan agar pemerintah melakukan kajian komprehensif mengenai dampak kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025. Ia menekankan pentingnya mempertimbangkan keuntungan dan kerugian bagi masyarakat, khususnya terkait daya beli mereka.
Meskipun Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) telah mengatur kenaikan PPN, Herman mengingatkan bahwa pemerintah masih memiliki pilihan untuk mengatur kebijakan ini agar tidak terlalu membebani masyarakat, terutama kalangan menengah ke bawah.
Ia juga menyoroti kemungkinan dampak negatif terhadap daya beli masyarakat, jika PPN 12 persen diterapkan pada barang-barang yang lebih banyak dikonsumsi oleh masyarakat berpendapatan rendah. “Pemerintah harus menjelaskan secara gamblang apakah kebijakan ini akan memberikan dampak positif atau tidak kepada masyarakat,” ungkapnya.
Sementara itu, Herman juga menegaskan bahwa pemerintah, dalam hal ini Menteri Keuangan Sri Mulyani, perlu memberikan penjelasan yang jelas mengenai alasan dan pertimbangan di balik kebijakan tersebut. Jika hasil kajian menunjukkan bahwa kenaikan PPN akan terlalu memberatkan masyarakat kecil, ia meminta agar pemerintah mempertimbangkan untuk menunda atau mengkaji ulang kebijakan tersebut.
Sufmi Dasco, Wakil Ketua DPR RI, sebelumnya juga mengungkapkan adanya usulan untuk menaikkan pajak barang mewah menjadi 12 persen, sambil menurunkan pajak-pajak lain yang lebih berdampak pada masyarakat umum, sebagai bagian dari reformasi perpajakan.
DPR dan pemerintah diharapkan dapat terus berdiskusi untuk mencapai solusi yang seimbang antara penerimaan negara dan kemampuan ekonomi masyarakat.